top of page

[Review] Soegija


Ketika mengetahui Garin Nugroho membuat film Soegija, saya begitu antusias. Nama besar Garin Nugroho dalam lingkup penggiat film nasional begitu besar di mata saya. Garin merupakan sutradara papan atas yang selalu menghasilkan film-film nasional yang berkualitas. Film Soegija sendiri berdasarkan kisah perjuangan seorang Uskup pribumi pertama Indonesia yang bernama lengkap Soegijapranata. Seorang Romo yang berperan turut membanti proses kemerdekaan Republik Indonesia. Diceritakan dalam film ini akan fokus menceritakan peran Soegijapranata dalam rentang waktu tahun 1940 hingga 1949. Untuk mendukung cerita tersebut, Garin membangun karakter fiksi seperti, Robert (Wouter Zweers), Mariyem (Annisa Hertami), Hendrick Van Maurick (Wouter Braaf), Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki), Lantip (Rukman Rosadi), Besut (Margono), dan juga bocah cilik Lingling (Andrea Reva) yang menjadi pendukung film. Selain itu, tokoh Koster Toegimin (Butet Kertarajasa) berperan sebagai pembantu Romo Soegijapranata. Bentuk perjuangan Soegijapranata digambarkan lewat diplomasi, turun langsung ke basis-basis rakyat yang menderita karena perang, hingga berani dan lantang harus berhadapan dengan komandan militer Jepang, yang ingin menguasai Gereja untuk dijadikan Markas Militer. Soegijapranata harus meneteskan air mata kala dirinya tak mampu berbicara banyak, melihat para warga asing yang mengabdi untuk Gereja, harus digiring menjadi tawanan oleh militer Jepang. Hingga pada akhirnya, Soegijapranata mempunyai peran besar dalam memainkan perannya di tingkat Internasional. Vatican yang merupakan sentrum dari Gerja Katholik mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Namun proses Kemerdekaan dan tindakan kemanusiaan yang dilakukan Uskup Soegijapranata yang digambarkan oleh Garin Nugroho dan Armantano, terlihat biasa saja. Langkah-langkah Soegijapranata yang seharusnya lebih detail dan lebih menarik tidak terjadi dalam film ini. Garin Nugroho gagal mengeksplorasi hal tersebut. Saya tidak mendapatkan sesuatu yang istimewa dalam sosok Soegijapranata versi Garin Nugroho. Garin justru sibuk dengan kisah Mariyem dan Robert, kisah Hendrick yang berperan sebagai serdadu Belanda yang antagonis, Kisah Nobuzaki komandan Jepang yang murung dan tak tiba-tiba justru menyanyi tak jelas ketika berhadapan dengan pejuang Republik, atau kisah Lingling si bocah yang terlalu dewasa untuk ukuran anak umur sepuluh tahun. Beruntung film ini tidak jadi begitu monoton lewat peran Koster yang konyol atau bocah-bocah tanggung republiken yang mampu menghadirkan gelak tawa. Karakterisasi mereka mampu menggambarkan situasi yang terjadi di Indonesia saat itu di kalangan rakyat bawah. Identitas Seogijapranata justru tidak berhasil dikembangkan Garin Nugroho karena jadi seimbang dengan kisah-kisah fiktif yang hadir lewat karakter lainnya. Garin Gagal membangun karakter Soegijapranata seperti Steven Spielberg membangun karakter Oskar Schindler lewat film Schindler's List. Namun, selipan pesan yang dibuat Garin Nugroho dan Armantano sangat cerdas dan menohok kekinian Indonesia. Selipan pesan tersebut mampu menjadi refleksi atas kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini. Pesan-pesan tersebut harusnya bisa terpatri bagi para pejabat atau tokoh politik yang bertanggung-jawab atas terpuruknya Indonesia sekarang.

Terlebih, saya menyukai bagaimana Garin mencoba sedikit menyelipkan kisah pejuang Tan Malaka lewat sebuah dialog singkat. Dialog yang menghadirkan perjuangan kisah Tan Malaka tanpa henti dan harus berpindah-pindah negara tapi hatinya seratus persen untuk Indonesia. Selain Dialog, detail perlengkapan dan setting tempat menjadi acungan jempol untuk Garin Nugroho. pernak-pernik perabotan serta pemilihan tempat dalam adegan yang harus dilakukan diluar ruangan begitu real dan menggambarkan Indonesia dalam kisah kemerdekaan saat itu. Tampilan sinematografi senja saat pejuang Republik berjalan saat senja juga terlihat begitu indah. Kualitas sinematografi dan visualisasi dalam film Soegija begitu apik dan enak dipandang mata. Berbicara akting para pemain, para pendukung film ini tampil mengesankan. Mulai dari Nirwan Dewanto hingga bocah tanggung yang tidak bisa membaca memberikan sajian akting yang mumpuni. Mulai dari adegan menangis Nirwan Dewanto, Wouter Braaf yang mewakili arogansi serdadu Belanda, Wouter Zweers yang protagonis, serta konsistensi gaya Margono ketika memerankan sosok Pak Besut sang penyiar radio, yang sekaligus menjadi narator untuk peristiwa politik yang terjadi. Secara Keseluruhan, Film Soegija telah menambah koleksi film sejarah nasional Indonesia. Beruntung ada Garin Nugroho yang mau memberikan kontribusi untuk menambah koleksi film sejarah. Pesan Kemanusiaan hadir dari setiap tokoh meski berbeda pandangan politik dan juga kewarga-negaraan serta etnis. Soegija harus menjadi refleksi kepada para pejabat publik akan perjuangan yang telah dilakukan para nenek moyang kita. Film Seogija menambah wawasan dan pengetahuan kita akan sosok Soegijapranata yang mempunyai andil dalam proses kemerdekaan Indonesia. Meski kritik saya, Garin Nugroho gagal membangun identitas ketokohan Soegijapranata dalam 115 menit visualiasi gambar yang diberikan. Selamat Menonton. Nilai: 6.5/10 Bintang Review ini dimuat di: http://entertainment.seruu.com/read/2012/06/20/104235/ulasan-film-soegija-kegagalan-garin-membangun-identitas-soegija


You Might Also Like:
bottom of page